Iklan Politik


Parpol Beriklan Media Memberitakan
Oleh : Muhammad Ibnu Syihab Alhadi

Saat ini media massa semakin memegang peran sangat penting dalam kehidupan politik. Aktivitas media dalam melaporkan peristiwa-peristiwa politik sering memberi dampak yang amat signifikan bagi perkembangan politik. Disini, media bukan saja sebagai sumber informasi politik, melainkan juga kerap menjadi faktor pendorong terjadinya perubahan politik. Memang harus diakui, efektivitas media untuk suatu perubahan politik memerlukan situasi politik yang kondusif, yang populer disebut keterbukaan politik. Tetapi pers yang bebas merupakan salah satu indikator adanya keterbukaan politik itu. Pers yang bebas juga bisa merangsang terjadinya kebebasan politik.
Atas dasar kenyataan ini, wajarlah jika kemudian publik sering menyoroti pemberitaan politik. Apalagi pada saat-saat krusial dalam kehidupan politik seperti masa kampanye Pemilu, sedang terjadi krisis politik, atau konflik antar pendukung partai.
Di pihak lain, kegiatan di bidang media massa termasuk di Indonesia telah menjadi industri. Dengan masuknya unsur kapital, media massa mau tak mau harus memikirkan pasar demi memperoleh keuntungan baik dari penjualan maupun dari iklan. Tak terkecuali dalam menyajikan peristiwa politik, karena pengaruh modal ini media massa akan lebih memperhatikan kepuasan khalayak sebagai pasar mereka dalam mengkonsumsi berita-berita politik.
Banyak hal besar yang terjadi di era tahun 1990-an. Dari sisi komunikasi misalnya, pada awal tahun 1990 terjadi sebuah peristiwa besar, yaitu dimulainya era televisi swasta dengan munculnya RCTI yang bersiaran tanpa dekoder. Sampai dengan akhir era Orde Baru, jumlah televisi swasta membengkak menjadi lima stasiun televisi, yaitu RCTI, TPI, SCTV, ANTV, dan Indosiar. Meski larangan iklan di TVRI dengan alasan akan memicu konsumerisme, nyatanya iklan-iklan komersial menjadi kue yang diperebutkan secara bebas di televisi-televisi ini.
Dari sisi kampanye, pada Pemilu tahun 1992 makin penuh dengan catatan bentrok antar pendukung parpol peserta pemilu serta aksi-aksi simpatisan parpol yang bersifat kriminal. Kondisi semacam itulah yang menjadi pemikiran pihak penguasa saat itu untuk memindahkan ajang kampanye ke layar kaca meski pada kenyataanya aturan itu urung diterapkan pada pemilu 1992.
Menjelang penyelenggaraan Pemilu 1997, pemerintah mengeluarkan beragam peraturan, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 1996 tentang pelaksanaan UU Pemilu, Keputusan Presiden Nomor 99 Tahun 1996 soal Kampanye Pemilu, Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri / Ketua Lembaga Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemilu, Keputusan Menteri Penerangan (Kepmenpen) Nomor 12 Tahun 1997 tentang Penggunaan Siaran Radio dan Televisi dalam Kampanye Pemilu 1997, Petunjuk Lapangan Kapolri Nomor 1 Tahun 1997  soal Pemberian Surat Keterangan Kampanye Pemilu 1997. Secara resmi, alasan dibuatnya beragam peraturan itu adalah agar kwalitas kampanye lebih meningkat lagi dan dilaksanakan secara “lebih elegan” (Danial, 2009: 149).
Harian Media Indonesia dalam tajuknya mendukung instruksi tersebut menulis bahwa akibat tampilan kampanye yang tidak elegan itu, sering terjadi bentrok fisik antar pendukung OPP, “Padahal, massa yang bentrok itu belum tentu memperoleh keuntungan dari OPP yang secara fanatik mereka dukung”. Akhirnya, setiap masa kampanye, semua pihak merasa berada didalam ketegangan yang terus-menerus akibat jalanan macet, aktivitas sosial dan ekonomi terganggu yang tidak sepadan dengan hasil dalam pemilu (Media Indonesia, 1996: 1).
Iklan politik pertama dalam sejarah Pemilu di Indonesia itu, selain dimuat di televisi, juga dimuat dalam versi cetak di berbagai media cetak. Dari sisi content, kebanyakan iklan-iklan politik televisi pertama itu berisi visi dan platform serta sosialisasi nomor partai.
Dari sisi konten, iklan politik televisi yang terlahir pada Pemilu 1999 dan berlanjut pada Pemilu 2004, memiliki sejumlah karakteristik. Di awal Pemilu 1999, iklan-iklan politik televisi tidak berbeda dengan iklan kecap, yaitu dalam arti tidak ada perbedaan berarti antara iklan politik dan iklan produk. Iklan-iklan politik televisi saat itu sebagian besar berisi ajakan untuk mencoblos nomor urut partai dan memperkenalkan logo partai (Setiyono dalam Danial, 2009: 198-199).
Pada pasca reformasi, khususnya menjelang pemilu 1999, kita menyaksikan media cetak dan elektronik membuat ragam rubrik atau program acara mengenai politik. Sebelum pemungutan suara bahkan sesudahnya, lima stasiun televisi swasta nasional dan satu televisi pemerintah menayangkan program acara “partai-partai”, “semarak pemilu”, “demokrasi 99” atau yang sejenis dengan itu setiap minggunya (Hamad, 2004: 105).
Setiap saat perkembangan politik yang berisi pendapat para tokoh parpol dan atau kegiatan parpol, serta opini sejumlah komentator politik bisa dipantau melalui radio terutama dijalur FM yang sangat aktif menyiarkan masalah-masalah politik. Ketika itu breaking news tentang peristiwa politik sangat mudah ditemukan di radio dari pagi hingga malam hari. Beberapa radio FM papan atas di Jakarta juga mempunyai program acara khusus yang membahas politik, yang umumnya disiarkan pada siang hari dan sore hari.
Rubrik khusus tentang politik disediakan oleh media cetak untuk memberikan uraian yang lebih rinci dan mendalam mengenai perkembangan politik yang sedang berlangsung setiap hari. Hampir semua surat kabar berskala nasional maupun surat kabar daerah menyediakan suplemen khusus pada masa pemilu itu yang berisi hal ikhwal politik, mulai dari jadwal dan kegiatan kampanye, program-program parpol, hasil wawancara dengan para pakar, hingga polling mengenai berbagai hal tentang pemilu dan partai dan tokoh politik.
Selain liputan dan paket program khusus, masyarakat juga memperoleh informasi tentang parpol dan pemilu 1999 melalui iklan politik baik berupa iklan layanan masyarakat (ILM) maupun iklan-iklan parpol, entah itu dipublikasikan melalui media cetak ataupun elektronik. Karena memiliki dana kuat, beberapa partai politik besar seperti Golkar, PDIP, PKB, PKP dan PPP banyak memuat iklan partai mereka di sejumlah media, baik yang terbit di ibukota maupun daerah.
Pesan iklan politik itu secara garis besar terbagi dua sesuai pemasangannya. Jika pemasangannya adalah lembaga non-parpol maka inti pesannya politik mencakup: Pertama, penjelasan pemilu sebagai sarana demokrasi. Kedua, seruan supaya masyarakat datang ketempat pemungutan suara. Sementara bila pemasangan partai politik, maka pesannya berupa: Pertama, sosialisai atau penguatan ingat lambang, nomor, dan ketua partai. Kedua, ajakan supaya mencoblos partai tersebut pada hari pemilihan (Hamad, 2004: 106-107).
Berdasarkan jenis media, tampaknya karena alasan kecepatan dan kehangatan berita, media-media yang terkait ruang dan waktu seperti koran, radio dan televisi cenderung menyajikan peristiwa ketimbang substansi dari sebuah parpol. Keramaian massa, kemacetan lalu-lintas, kecelakaan dan kekerasan banyak mewarnai koran, radio dan televisi dalam melaporkan kampanye pemilu. Sebaliknya majalah, karena lebih banyak memiliki waktu isu substantif. Persamaan pola liputan politik di antara kedua jenis media ini adalah mengenai tokoh partai politik. Terutama menyangkut soal calon presiden dan calon wakil presiden, boleh dikatakan semua jenis media memberi perhatian yang lebih besar ketimbang program partai. Popularitas seorang tokoh partai tampaknya tetap menarik bagi media untuk dijadikan bahan berita (Hamad, 2004: 108).
Iklan politik sangat mempengaruhi adanya perkembangan partai politik. Banyak media massa yang menampilkan parpol-parpol yang ingin dikenal kalangan masyarakat luas, biasanya informasi dan berita tentang parpol dimasukkan ke dalam berbagai media massa seperti, televisi, radio, brosur, dan pemasangan baliho. Dalam media televisi diawali dengan munculnya iklan politik diawali oleh TPI, dengan menayangkan iklan politik PKB, hanya selang beberapa bulan kemudian muncullah televisi-televisi yang lain untuk menerima order iklan politik dari partai. Berbeda dengan radio-radio swasta yang saat itu memperlakukan iklan politik sebagai Iklan Layanan Masyarakat (ILM), sedangkan iklan kalangan televisi memperlakukan iklan parpol sebagai iklan komersial. Iklan parpol haruslah dibatasi, jika tidak maka jam tayang iklan akan penuh dengan iklan parpol yang merugikan pemirsa.
Dengan masuknya iklan politik ke media massa, banyak tanggapan positif dan negatif yang diterima. Tanggapan positif biasanya datang untuk para parpol yang mengadakan kampanye, sebab dengan adanya pemberitaan di media massa maka dapat mempengaruhi perkembangan baik sebelum pemilihan, waktu pemilihan, maupun setelah pemilihan. Masyarakat umum akan terpengaruh dengan adanya pemberitaan di media massa tentang profil-profil dan latar belakang dari parpol. Dengan pemberitaan di media maka masyarakat akan dapat  menyeleksi partai apa yang akan mereka dukung. Sehingga dengan begitu, parpol akan lebih mudah untuk mempengaruhi pendukung tanpa harus turun ke lapangan. Selain itu, bagian media massa akan mendatangkan suatu keuntungan karena telah menjadi industri pemasaran baik dari penjualan maupun dari iklan.
Dampak negatif juga dapat dirasakan para masyarakat, seperti adanya pemasangan iklan-iklan parpol di sepanjang jalan, di koran, maupun televisi. Selain itu juga dapat mengundang adanya suatu konflik bagi para pendukung parpol yang biasanya mengadakan demo dimana-mana, sehingga dapat mengganggu aktifitas masyarakat lainnya. Dengan banyaknya iklan-iklan politik baik di media elektronik maupun media cetak, diharapkan dapat lebih menyajikan berita yang lebih elegan dan berkualitas. Sehingga diperlukannya undang-undang tentang periklanan parpol yang dapat meminimalisir dampak negatif tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar